Paradigma spiritualitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tentu tidak lepas dari esensi penjelasan yang pernah diberikan oleh KRMT Wongsonegoro bahwa kebatinan, kerohanian, dan kejiwaan yang kemudian disebut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agama dan mendukung azas Pancasila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi pekerti luhur (1955/1956).
Kelompok-kelompok kebatinan yang kemudian disebut Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mulai terorganisir berkat KRMT Wongsonegoro, seorang tokoh pejuang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beliau berperan sejak Budi Utomo tahun 1908, mendirikan Tri Koro Darmo, kemudian menjadi Ketua Yong Java tahun 1926, mendirikan Indonesia Muda, dan ikut mendirikan tonggak persatuan dan kesatuan Indonesia, Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Dijelaskan juga oleh Bp. Arymurthy, SE., sebagai Direktur pertama (1) Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sistem kesadaran dalam penghayatan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang bersumber dari nilai-nilai spiritual warisan leluhur yang diwujudkan dengan mesu Budi, memerankan energi/ dayanya Budi terhadap cipta, rasa dan karsa berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menghasilkan tuntunan budi luhur.
Tuhan Yang Maha Esa bagi penghayat Ketuhanan adalah mutlak, pencipta alam semesta serta segala sumber kehidupan, dan hanya kehendak-Nyalah semua mobah mosik dikehidupan ini terjadi, termasuk juga manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya yang lebih mulia dari kehidupan yang lain dan bahkan untuk itu manusia diberi kesempatan kembali kepada-Nya sebagai sumber hidup dalam kelanggengan.
Kesempatan tersebut ternyata membutuhkan kecerdasan spiritual, yang selalu diperingatkan dalam gema spiritual pribadi yang sering tidak tertangkap dengan mudah oleh banyak manusia karena kabut-kabut nafsu yang juga bersemayam sebagai tabir dalam kehidupan horisontal. Kabut tersebut harus kita dapat lalui dalam “Kesadaran Manusia Seutuhnya”, …untuk membangun kesadaran tersebut ternyata perlu pengetahuan yang harus digali dengan Laku, Hukum hingga mencapai Ilmu sejati, karena hanya dengan rasa jati petunjuk, bimbingan, serta pepadhang dari-Nya manusia baru bisa meniti jalan untuk mengembalikan hidup ini kepada sumber hidup yaitu Tuhan Yang Maha Esa….sebagai kuwajiban, ….namun hal tersebut sangat pribadi, Tuhan Yang Maha Esa tetap memberi kebebasan manusia berkehendak.
Mencari nilai-nilai spiritual Tuhan Yang Maha Esa untuk kembali pada Sangkan Paraning Dumadi, seperti uraian didepan dijelaskan bahwa manusia diberi kebebasan berkehendak, walaupun demikian terbuka lebar bagi mereka yang ingin mengembalikan hidup kepada Sang Sumber Hidup Tuhan Yang Maha Esa, dan dalam laku tersebut tersedia nilai-nilai spiritual sebagai titian laku kearah sangkan paran, laku yang akan melalui “Hukum dan Ilmu” Tuhan Yang Maha Esa, dan dengan meniti laku tersebut sangat tergantung kedewasaan spiritual pribadi dalam kemampuan menyatukan Dimensi Kemanusiaan dan Dimensi Ketuhanan yang dengan bertahap akan meningkatkan martabat evolusi spiritualnya.
Pada kerangka kesadaran diri setiap manusia dalam menapaki jalan hidup mencari makna hakiki dirinya, akan selalu terjadi tarik menarik antara dua arah yang berbeda, yakni arah yang baik dan dorongan yang jahat. Baik selalu akan mengarahkan diri pada penciptaan yang diterangi Budi Luhur, sementara yang jahat akan membawa pada arah penciptaan yang penuh diwarnai nafsu rendah. Pengalaman pribadi manusia yang merupakan hasil dari pergulatan nafsu jelek dan budi baik akan mencerminkan martabat seseorang dan kualitas kemanusiaannya.
Sunguhpun nafsu ada dalam dirinya, setiap orang diberi kesempatan mempunyai pilihan disetiap jalan dalam upaya penyelamatan hidup kemanusiaannya.
Upaya penyelamatan gregat hidup kemanusiaan terhadap rongrongan hawa nafsu yang kerap hadir dalam menempuh jalan spiritual, dapat ditempuh dengan mengaktifkan alur mental spiritual, menyatukan tiga unsur dalam “metode kesadaran” yaitu laku yang simultan dalam :
* Meningkatkan martabat sujud.
* Memperdalam pemahaman spiritual.
* Mawas kedewasaan emosional.
(Bersatunya Dimensi Ketuhanan & Dimensi Kemanusiaan)
Bersatunya ketiga unsur dalam sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah salah satu cara dalam menapaki jalan itu, yang prosesnya bertahap sesuai capaian martabat spiritual pribadi.
Dirgahayu Republik Indonesia!
Bisma Mayangkara – Hertoto Basuki
Semarang, Agustus 2020